Rabu, 23 September 2009

Ponsel Dilebur untuk Dapatkan Emas

Jutaan telepon seluler di seluruh dunia tiap tahunnya menjadi barang bekas yang tidak dipakai lagi. Di negara modern seperti Jepang, ternyata sampah elektronik ini dikumpulkan lalu dilebur untuk diambil bahan emas di dalamnya. Dengan melebur 120 ribu ponsel, bisa didapatkan satu kilogram emas murni.

PRAKTIK daur ulang ponsel bisa dibilang sebagai bisnis yang memerlukan banyak bahan baku. Sebagai contoh adalah bagaimana sebuah perusahaan daur ulang di Jepang, Yokohama Metals, melakukan kegiatannya. Yokohama merupakan perusahaan yang mengumpulkan bahan logam berharga dari sampah-sampah elektronik.

Seperti ditulis New York Times Online beberapa waktu lalu, Yokohama Metals tahun kemarin mengumpulkan sekitar 1,7 juta ponsel bekas. Toh, angka ini baru sekitar 10% saja dari keseluruhan pasar ponsel daur ulang di Jepang.

Tentu saja mereka juga mengeluarkan biaya tak sedikit. Yokohama membayar 10 yen untuk tiap ponsel, sementara bahan emas dan logam lain yang ada di dalam ponsel bernilai sekitar 30 yen. Jadi, jelas Yokohama masih sedikit untung. Secara keseluruhan, diperlukan 120 ribu ponsel untuk memproduksi satu batang emas murni (99,99%) dengan berat satu kg. Nantinya emas ini dijual di bawah harga US$10 ribu.

Bukan pekerjaan mudah

Mengolah ponsel lalu mengambil bahan di dalamnya memerlukan beberapa proses. Pertama, ponsel-ponsel ini dimasukkan ke dalam mesin penghancur sehingga menjadi semacam bubur. Bahan ini lalu dipanaskan dalam suhu tinggi dan menjadi cairan kental berwarna hitam.

Setelah dimasukkan dalam kantong kanvas, material ini direndam dalam tangki berisi cairan pelarut. Dalam waktu 2 x 4 hari, bahan perak akan keluar dari kantong lalu menempel di bagian sisi dan bagian bawah tangki. Proses yang sama dilakukan untuk mendapatkan bahan seperti emas, platina dan lain-lain.

Sayang, logam dalam ponsel terbilang berkualitas rendah. Meski emas di ponsel asal Jepang 30 kali lebih murni daripada emas hasil tambang Afrika Selatan, masih perlu beberapa hari hingga berminggu-minggu untuk proses penghalusan sebelum akhirnya emas dijual ke toko. Paling tidak perlu enam bulan untuk mengekstrak logam dari sebuah ponsel, bandingkan dengan praktik melebur dan menghaluskan permata yang hanya perlu sebulan.

Ini juga membatasi keuntungan pendaur ulang. Yokohama Metals untung sekitar US$7 sen untuk tiap gram emas dan paladium lalu seperlima dari US$1 sen untuk tiap gram perak.

Sebenarnya banyak negara lain yang melakukan bisnis serupa. Berton-ton sampah elektronik diekspor dari negara modern seperti Amerika Serikat ke Asia untuk diambili material berharga di dalamnya. Karena pengolahan yang sembarangan, tak jarang produk ini mencemari lingkungan sekaligus membahayakan kesehatan masyarakat sekitar.

Namun, seperti dilaporkan beberapa kelompok lingkungan, praktik daur ulang di Jepang boleh diacungi jempol. Negara Matahari Terbit ini dinilai telah melakukan langkah-langkah positif, misalnya memasang bahan daur ulang yang lebih aman di dalam peralatan elektronik. Para manufakturnya juga sudah diserahi tanggung jawab penuh untuk mengumpulkan produk bekas.

Didorong keterbatasan alam

Jepang juga ternyata alasan punya lain untuk menjadi negara yang paling suka mendaur ulang barang. Apalagi kalau bukan karena minimnya sumber daya alam serta tempat pembuangan sampah di sana. Meski sudah demikian getol, sampah elektronik tetap saja bertumpuk-tumpuk. Jumlah sampah ini disebut telah melonjak hampir 60% dalam tiga dekade terakhir.

Seiring makin mahalnya biaya membuang sampah, tak heran kalau praktik daur ulang bukan lagi satu kebiasaan, tapi sudah jadi keharusan. Pemerintah Jepang tahun lalu sudah membuat peraturan yang mengharuskan manufaktur perabot rumah seperti Hitachi dan Toshiba mendaur ulang semua produk, mulai dari mesin cuci, lemari es, AC, sampai televisi. Peraturan ini kabarnya akan diperluas hingga mencakup peralatan kantor, meski produk ponsel belum disebut-sebut.

Sebenarnya, bisnis daur ulang (selain ponsel) termasuk bisnis merugikan. Untuk perabot rumah misalnya, konsumen membayar biaya daur ulang sampai sebesar US$35. Dari jumlah ini, 60% diberikan untuk manufaktur lalu sisanya untuk para peritel yang mengumpulkan barang.

Bahan logam dan motor memang mudah dijual, tapi sisanya harus dibuang. Itu sebabnya para pembuat elektronik sulit mendapat keuntungan dari praktik daur ulang meskipun mereka berhasil menarik kembali lebih dari sepertiga perabot yang dibuat tahun lalu.

Proses daur ulang juga mendapat kendala dari jenis ponsel. Meski para manufaktur sudah diminta untuk tidak memasukkan bahan berbahaya di dalam produknya, banyak ponsel tipe lama yang masih memakai solder dari bahan timah.

Faktor ekonomi juga menjadi salah satu kendala. Di saat pasar ponsel di Jepang hampir mencapai titik jenuh, ditambah dengan resesi ekonomi, maka konsumen makin lama memakai satu produk ponsel. Akibatnya penjualan ponsel juga ikut menurun.

Sejauh ini, para pendaur ulang masih tetap mendapatkan bahan baku dari para perusahaan telekomunikasi di Jepang. Meski tidak banyak dibantu pemerintah, operator semacam NTT DoCoMo, KDDI, dan J-Phone berhasil menarik kembali hampir 10 juta ponsel tua di tahun lalu, atau seperlima dari 53 juta ponsel yang diproduksi selama ini.

Bagaimana caranya mengumpulkan sedemikian banyak ponsel? Peritel ternyata mendapat ponsel tua dari konsumen yang membeli model baru. Operator kelas atas seperti NTT DoCoMo juga rajin melakukan kampanye penarikan kembali dengan iming-iming sejumlah hadiah. Selama dua bulan, tiga kali setahun, konsumen yang mengembalikan ponselnya bisa memenangkan perangkat Sony MiniDisc, jam tangan bertenaga matahari, serta produk lainnya. "Meski belum ada peraturannya, kami berusaha sebisa mungkin," ujar Satoshi Yokoshima, seorang manajer DoCoMo.

Para pembuat baterai juga melakukan tindakan serupa. Mereka bekerja sama dengan peritel untuk mengumpulkan dan mendaur ulang baterai bekas dari ponsel dan peralatan lainnya. Pihak pembuat ponsel juga sudah tidak lagi memakai baterai nickel cadmium yang termasuk bahan beracun. Baterai yang diproduksi kini kebanyakan tipe lithium ion yang lebih ramah lingkungan. 

sumber :
http://www.x-phones.com/www/as_detail.php?id=128

Anwar Surahman,mediaindonesia.co.id


0 komentar: